Minggu, 29 Agustus 2010

I'TIKAF


niatnya sih tadi mau I'tikaf di Masjid Al-Akbar Surabaya, eh ternyata malah halaman Masjid dipake untuk acara apa tadi ya, semacam bazar yang disponsori oleh Koran Harian Nasional yang Sudah besar namanya (tidak boleh menyebutkan nama merek) dan Teh botol yang sudah terkenal dimana mana (tidak boleh disebutkan juga). Nyariin temen katanya juga mo I'tikaf di situ juga malah nggak ketemu, ya udah deh jalan-jalan bentar, nyoba-nyoba baju Koko (ukuran kegedean semua, nyari yang dimaksud nggak ada sih), trus liat aksi Grup Musiknya Ki Buyut dari Cirebon yang Ramadhan ini sudah kemana-mana seluruh Indonesia dan Malaysia. Lama-lama juga bosan, Ya uda deh pulang aja, yang penting uda niatan mo I'tikaf meskipun Alloh juga belum memberikan kesempatan. Ini juga mo tilawah malah browsing dulu, FBan dulu, trus baru Tilawah (insyaAlloh). Tapi waktu browsing dapet artikel tentang I'tikaf nih... cekidot...


DEFINISI I’TIKAF

Ditinjau dari segi bahasa: I’tikaf berasal dari kata ‘akafa yang berarti menahan mencegah dan menetapi atau menempati sesuatu; yang baik maupun yang buruk.

Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah syara’ adalah berdiam di masjid dalam rangka melakukan ibadah, atau mendekatkan diri kepada Allah, dari orang tertentu dengan cara tertentu pula.




DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF
Dalil yang mendasari disyari’atkannya I’tikaf ini berasal dari ayat al-Qur’an, hadis dan juga ijma’ umat islam


a. dalil al-Qur’an adalah Firman Allah 

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari shiyam bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shiyam itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (QS. Al Baqoroh: 187)

b. Dalil hadis adalah

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dari ‘Aisyah, isteri nabi saw, bahwa Nabi saw beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah, kemudian sepeninggal beliau isteri-isterinya juga melakukan i’tikaf. (HR. Bukhari dan Muslim)

c. dalil ijma’;
Adapun ijma’, Ibnul Mundzir mengatakan; para ulama’ telah sepakat bahwa I’tikaf adalah sunnah, tidak wajib bagi umat manusia, kecuali bagi seseorang yang mewajibkan bagi dirinya sendiri dengan cara bernadzar, jika demikian maka I’tikaf wajib baginya.

HUKUM I’TIKAF
 

Para ulama sepakat bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah. Tetapi hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bahwasanya beliau pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah bersabda :

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ نَذْرَكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً

“Dari Umar bin Khothab beliau berkata: Wahai Rasululloh saya pernah bernazar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf satu malam di masjid haram. Lalu beliau menjawab: Tunaikan nazarmu. Lalu Umar beri’tikaf semalam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

WAKTU I’TIKAF
 

a. Lamanya I’tikaf

Ulama’ berbeda pendapat tentang waktu I’tikaf. Ada yang mengatakan boleh kapan saja, dan ada yang membolehkannya hanya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan. Pendapat yang kuat, I’tikaf boleh dilakukan kapan saja, tetapi sangat ditekankan untuk melakukannya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah. Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr.

Imam Nawawi di dalam al-Minhaj mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat”. (VIII: 307)

I’tikaf wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan. Sedangkan i’tikaf yang sunnah, menurut mayoritas ulama’, tidak ada batasan maksimalnya. Memang ada yang mengatakan bahwa 10 hari itu batas maksimal, tetapi yang kuat sepuluh hari bukanlah batasan maksimal, tetapi kebiasaan Rasulullah saw pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadlan.

Selain berbeda pendapat tentang lamanya I’tikaf, ulama’ juga berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Ada yang menyatakan sesaat, dan inilah pendapat mayoritas ulama’. Ada yang menyatakan sehari yaitu pendapat Hanafiyyah, sebagian pengikut madzhab Malikiyyah dan sebagian ulama’ pengikut Imam asy-Syafi’i. Ada yang berpendapat sehari dan semalam, yaitu madzhab Maliki. Dan ada yang menyatakan 10 hari, inilah pendapat Imam Malik. Di sini Imam Malik berbeda dengan para pengikutnya.

b. Kapan Mulai I’tikaf
 

Ada perbedaan pendapat di antara ulama’ tentang kapan I’tikaf dimulai. Pendapat pertama adalah pendapat jumhur (mayoritas). Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam.

Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ، إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ ، صَلَّى الصُّبْحَ ، فَدَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

Dari Aisyah ra, ia berkata Rasulullah saw apabla hendak beri’tikaf, maka beliau shalat shubuh kemudian masuk ke mu’takaf (tempat i’tikafnya)”. (HR. Abu Ya’la dan an-Nasa’I di dalam Sunan al-Kubranya)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

Dari Aisyah ra, ia berkata, nabi sahulu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan, maka aku membuatkan tenda untuk beliau, lalu beliau shalat subuh kemudian memasukinya (HR al-Bukhari)
Pendapat inilah yang dipegangi oleh al-Auza’iy, al-Laits dan ats-Tsauri serta dipilih oleh Ibnu Hajar dan ash-Shon’ani

Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati.

SYARAT-SYARAT I’TIKAF
 

Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:

1. Muslim,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْأِسْلامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan barangsiapa mencari agama selain islam, maka tidak akan diterima 9amal) darinya, da kelak di akhirat dia termasuk orang-orang yan rugi

Ayat ini menagaskan bahwa amal orang yang tidak bergama Islam tidak sah.

2. Berakal,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ [متفق عليه

Amal itu hanyalah dengan niat (Muttafaq ‘alaih)

Dengan hadis ini, orang beramal akan sah jika diserati dengan niat. Adanya niat mempersyaratkan sehatnya akal. Jika akal tidak sehat maka perbuatannya keluar tidak dilandasi dengan niat.

3. Mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),

Ini merupakan kesepakatan para ulama’, berdasarkan kepada dalil hadis pada syarat ke-2 di atas

4. Suci dari janabat, haidh, serta nifas.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

Ayat ini menegaskan bahwa orang junub diarang tinggal di dalam masjid, hanya boleh melintas saja. Kaena itu orang yang dalam keadaan junub tidak sah beri’tikaf.

5. Izin dari suami bagi wanita, pada i’tikaf sunnah.

RUKUN-RUKUN I’TIKAF
 

1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat. Sabda Rasulullah saw
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ [متفق عليه
Amal itu hanyalah dengan niat (Muttafaq ‘alaih)

2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah yang artinya:

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (al-Baqarah:187)

MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF
 

Setelah sepakat bahwa I’tikaf harus berada di dalam masjid, para ulama’ berbeda pendapat tentang ketentuan masjid yang boleh digunakan untuk beri’tikaf ini. Dalam masalah ketentuan masjid ini ada 4 pendapat ulama’;

Pendapat pertama; seluruh masjid atau mushalla, pendapat ini dikemukakan oleh madzhab maliki dan sebagian Syafi’iyah. Pendapat ini hanya mengecualikan masjid (musholla) di rumah.

Pendapat kedua; masjid jama’ah, yaitu setiap masjid (musholla) yang ada mu’adzin dan ada imamnya, serta digunakan untuk shalat berjama’ah lima waktu. Pendapat ini diikuti oleh Madzhab Hanafi dan Hanbali.

Pendapat ketiga; masjid jami’, yaitu masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at, pendapat inilah yang dipilih oleh ash-Shan’ani

Pendapat keempat; Masjid haram, masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha,

Pendapat yang kuat, adalah pendapat kedua, yaitu di masjid yang digunakan untuk shalat jama’ah lima waktu, berdasarkan beberapa atsar, di antaranya adalah dari Aisyah;

وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِى مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ

“Dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR. Ad-Daraqutni, al-Baihaqi dan Abdur Razzaq)

Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi saw melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Dan berkata Ibnu Hajar tentang i’tikafnya istri-istri Nabi di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”.

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF
 

1. Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).

Dalilnya firman Allah yang artinya:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

2. Murtad.

3. Hilang akal

4. Haidh dan Nifas

5. Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun i’tikaf.

ADAB-ADAB I’TIKAF
 

Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :

1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah.

2. Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi, terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.

3. Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar

4. Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.

5. Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf

HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKAF
 

1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah ia berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

“Nabi ketika beri’tikaf pernah mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya menyisirinya, dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali untuk hajat (kebutuhan) yang manusiawi.” (HR Muslim)

Imam Malik berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan
Imam Az Zuhri menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir.

2.Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari berbagai kotoran”.

3. Membuat tenda, membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

Dari Aisyah ra, ia berkata, nabi sahulu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan, maka aku membuatkan tenda untuk beliau, lalu beliau shalat subuh kemudian memasukinya (HR al-Bukhari)

4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا

Shofiyah berkata bahwa beliau datang menziarahi nabi dalam I’tikaf beliau di sepuluh akhir romadhon lalu berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit pulang. Rasulullah pun bangkit bersamanya mengantar sampai ketika di pintu masjid di dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang Anshor, lalu keduanya memberi salam kepada Nabi dan beliau berkata kepada keduanya: “Perlahan, sesungguhnya dia adalah Shofiyah bintu Huyaiy. Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh” dan keduanya menganggap hal yang besar. (HR al-Bukhari)

5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.

I’TIKAF BAGI MUSLIMAH
I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita, sebagaimana disebutkan di dalam hadits. 


عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ وَعِنْدَهُ أَزْوَاجُهُ

Dari Ali bin al-Husein, ra. Dahulu Nabi (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula). (HR. Bukhari dan Muslim)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR Bukhari)

Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua.

Ibnul Mundzir berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”.

Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ulama’ Hanafiyah. Namun yang rajih (kuat) adalah sama dengan persyaratan bagi laki-laki, yaitu masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah, berdasarkan keumuman ayat dan juga tindakan para isteri Rasulullah saw. Seandainya memang dianjurkan untuk beri’tikaf di masjid rumahnya sendiri tentu para isteri rasulullah tidak perlu menuju masjid dan membuat tenda-tenda di dalam masjid.

Ketiga; terhindar dari fitnah. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.

FADHILAH (KEUTAMAAN) I’TIKAF
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:


1. I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr. Dan nabi saw pun mendorongnya untuk itu, seperti sabdanya

إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوَتْرِ

Sesungguhnya Aku pernah diperlihatkan lailatul qadar, kemudian aku lupa atau dilupakannya, maka carilah ia (lailatul qadar) pada sepuluh malam terakhir, pada malam yang ganjil (HR al-Bukhari)

2. Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah

3. I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid

4. I’tikaf akan menjaga puasa seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan

5. Dengan I’tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.

KHATIMAH
Meskipun I’tikaf memiliki keutamaan yang banyak, namun ibadah ini bukan kewajiban. Karena itu seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan secara cermat maslahat dan mudharatnya. Islam disyari’atkan bukan untuk membebani seseorang, sehingga menelantarkan orang lain. Islam disyari’atkan jutsru untuk kemaslahatan umat manusia. Maka ketika dari suatu aktifitas mengandung nilai positif dan sekaligus memuat hal-hal negatif, maka hendaklah didahulukan menghindari hal negatifnya, sebagaimana telah dinyatakan di dalam sebuah kawidah ushul


دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindarkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendatangkan kemashlahatan.
Sebagai contoh, seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya, jika ia meninggalkan orang tuanya bisa durhaka kepada orang tua maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama.
Contoh lain, seorang kepala rumah tangga ia harus mempertimbangkan, jika ia tinggalkan I’tikaf bagaimana keadaan keluarganya. Jika keluarga menjadi terlantar karena keinginannya ditinggal menunaikan suatu ibadah, maka tidak selayaknya ibadah yang dia lakukan berdampak pada penelantaran orang lain.
Demikian juga seorang yang bekerja di bidang pelayanan masyarakat umum. Jika dia beri’tikaf menjadi tidak ada orang yang memberikan pelayanan maka hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi.

Adapun bagi mereka yang Allah muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Hanya orang yang lemah iman sajalah yang mau menyia-nyiakan kesempatan menggapai hikmah yang agung. Maka jika ada kesempatan raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang. Demikian juga jika kesempatan itu tidak terpenuhi pada sepuluh hari terakhir, hendaklah memanfaatkan waktu-waktu yang dimilikinya untuk lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah di dalam masjid.

Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini malam yang lebih mulia dari seribu bulan yakni “Lailatul Qadr” bisa diraih dengan sempurna. 

abahzacky.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar jika ada sesuatu hal yang menarik untuk disampaikan. Terimakasih

Visiting Detector